Pada
era globalisasi seperti saat ini ternyata semakin tidak mudah untuk memberikan
pemahaman mengenai adanya sistem ekonomi Indonesia. Masyarakat masa kini begitu
lebih menikmati dan mengagumi era globalisasi ketimbang sistem ekonomi
kerakyatan yang telah ada sejak lama sebelum datangnya masa globalisasi yang
membawa dampak begitu besar terhadap sikap dan pola kehidupan masyarakat di
Indonesia. Dengan dampak yang berkepanjangan seperti ini semakin mempengaruhi
sistem perekonomian kerakyatan Indonesia serta ideologi kerakyatan yang telah
menjadi dasar landasannya..
Menurut
pasal 33 UUD 1945 bahwa ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang
demokratis, sistem ekonomi kerakyatan termuat lengkap dalam penjelasan pasal 33
UUD 1945 yang berbunyi : “Produksi dikerjakan semua untuk semua dibawah
pemimpin atau anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang paling
diutamakan bukanlah kemakmuran orang perseorangan. Karena itu perekonomian
disusun sebagai usaha bersama yang berasaskan atas keluarga. Dan bangunan
perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”.
read more
read more
Konsep ekonomi
kerakyatan yang digagas Prof Mubyarto sekarang ini sudah tidak terdengar lagi.
Kondisi itu diperparah dengan sistem ekonomi yang dijalankan Indonesia yang
lebih mengedepankan pertumbuhan daripada pemerataan.
1.
Pengertian Ekonomi Kerakyatan
Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan
ekonomi rakyat.Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi
atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara
swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan
dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM)
terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang
ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa
harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.
2. Perjalanan
Ekonomi Kerakyatan Dari Tahun Ke Tahun
v Ekonomi Kerakyatan di Jaman Orde Baru dan
Jaman Reformasi
Pada Jaman Orde Baru (1966-1998) telah terjadi
beberapa modifikasi yang telah diambil
oleh pemerintah dalam menangani ekonomi kerakyatan. Pada Pada Pelita II
(1973-1978) dan Pelita III (1979-1983) pemerintah melakukan kebijakan melalui
apa yang disebut dengan sektor informal. Di Indonesia konsep kebijakan ini
dikenalkan oleh akademisi Prof Hidayat dariUniversitas Padjadjaran Bandung.
Batasan sektor informal tidak jauh berbeda dengan para peneliti dari
mancanegara. Dikatakan sektor informal itu adalah usaha yang dilakukan dengan
beberapa ciri diantaranya: usaha dengan skala kecil, tenaga kerja keluarga,
tidak terdaftar, tidak perlu ijin formal seperti ijin usaha, tidak pernah
membayar pajak dan tidak mempunyai akses ke lembaga keuangan sebagai pemasok
modal. Kebijakan yang diambil adalah dengan memberi bantuan modal melalui
sektor perbankan seperti kredit usaha kecil, kredit modal kerja permanen.
Otoritas moneter, Bank Indonesia bekerja sama dengan pemerintah membuat
kebijakan dengan bank umum pemerintah dan bank umum swasta sebagai bank
pelaksana.
Pada Pelita VI pemerintah membuat kebijakan
yang disebut dengan Program Jaring Pengaman Sosial. Dasar pemikiran ini,
seperti yang dikemukakan oleh Sumodiningrat (1999), bahwa pertumbuhan (ekonomi)
harus beriringan dengan pembagian hasil-hasil pembangunan secara lebih merata
(redistribution with growth). Pengembangan ekonomi kerakyatan melalui
pemberdayaan masyarakat yang masih tertinggal tidak cukup dengan meningkatkan
produktivitas, memberikan kesempatan berusaha yang sama, memberikan bantuan
modal tetapi diadakan kerjasama yang erat antara yang kuat dan yang lemah
secara berkesinambungan. Pendekatan yang paling baik adalah dengan pendekatan
kelompok dala bentuk usaha bersama. Dalam kelembagaan yang didasarkan pada
kebersamaan, kegiatan sosial ekonomi yang dikembangkan oleh kelompok penduduk
diharapkan akan mendorong kemandirian dan perkembang secara berkelanjutan
Berbagai model pengembangan kelembagaan keuangan dari kelompok penduduk di
masing-masing daerah ( terutama di pedesaan) seperti: Lumbung Pitih Nagari di
Sumbar, Badan Kredit Kecamatan di Jateng, Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di
Jawa Timur, Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali, Badan Kredit Desa (BKD) di
Jawa- Madura. Lebih lanjut menurut Sumodiningrat, upaya pengembangan ekonomi rakyat
perlu diarahkan untuk mendorong perubahan struktural (structural adjustment
atau structural transformation) dengan cara memperkuat kedudukan dan peran
ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional. Perubahan struktural ini meliputi
proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi moderan, dari ekonomi
lemah ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi yang subsistem ke ekonomi pasar,
dari ketergantungan ke kemandirian. Perubahan struktural ini mensyarakatkan
langkat-langkah dasar yang meliputi pengalokasian sumber daya, penguatan
kelembagaan teknologi serta pemberdayaan sumber daya manusia.
Langkah-langkah dasar tersebut meliputi:
pertama, memberi peluang atau akses yang lebih besar kepada aset produksi. Yang
paling mendasar adalah akses pada dana; kedua, memperkuat posisi transaksi dan
kemitraan usaha ekonomi rakyat; ketiga, meningkatkan pelayanan pendidikan dan
kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia; keempat,
kebijaksanaan pengembangan industri harus mengarah pada penguatan industri
rakyat yang terkait dengan industri besar; kelima, kebijaksanaan
ketenagakerjaan yang mendorong tumbuhnya tenaga kerja mandiri sebagai cikal
bakal wirausaha baru, yang nantinya akan berkembang menjadi wirausaha kecil dan
saling menunjang; keenam, pemerataan pembangunan antar daerah. Pada akhir
Pelita VI, menjelang lengsernya Presiden Suharto, atau menjelang krisis 1997
dan 1998 diadakan program Jaring Pengaman Sosial yaitu:
a. peningkatan ketahanan pangan (food security),
b.penciptaan lapangan kerja produktif
(employment creation),
c. pengembangan usaha kecil dan menengah
(small and medium enterprises),
d, perlindungan sosial dalam pelayanan dasar
khususnya kesehatan dan pendidikan (social protection).
Kebijaksanaan ini hampir menelan dana Rp.18
triliun yang dibagi menjadi 17 sektor pembangunan . Program-program tersebut
diantaranya adalah program padat karya, yang terdiri dari: padat karya khusus,
padat karya produktif sektoral, padat karya inpres. Program Pemberdayaan Masyarakat
terdiri dari program pengembangan kecamatan (PPK), bantuan program pemberdayaan
daerah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi (PDMDKE), program unit daerah
kerja pembangunan (UDKP), program IDT (inpres daerah tertinggal) yang mempunyai
pengertian sebagai pemicu penanggulangan kemiskinan, sebagai strategi
pemerataan dan panajaman program pembangunan, dan sebagai pengembang ekonomi
rakyat dengan bantuan dana bergulir.
Program IDT terdiri dari bantuan dana
bergulir, bantuan prembangunan prasarana pendukung desa tertinggal, dan bantuan
pendampingan. Terakhir program kredit mikro yang terdiri dari program Takesra
(tabungan kesejahteraan keluarga), Kukesra (kredit usaha keluarga sejahtera),
program kredit candak kulak dan program tempat pelayanan simpan pinjam KUD
(KCK/TPSP). Pada jaman Reformasi program yang ditempuh pemerintah adalah dengan
peningkatan dan pengembangan kinerja dan daya saing sektor usaha mikro, kecil
dan menengah (UMKM). Hasinya menurut catatan BPS, sektor UMKM memberi
kontribusi 2 – 4 % terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan
pembentukan total PDB sebanyak 55,3 %. Pangsa ekspor UMKM terhadap total ekspor
Indonesia mencapai 19 %. Sektor ini mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 76,55
juta atau 99,5 % dari total angkatan kerja yang bekerja (Ganesia, 2006, hal.2).
Hasil ini dilakukan dengan berbagai kebijakan yaitu: kebijakan kredit perbankan
dengan beberapa program tentang: pengaturan kredit usaha kecil, penanggulangan kemiskinan
melalui pemberdayaan dan pengembangan UKM yang dilakukan oleh 14 bank
sistematically important bank dengan jumlah kredit yang disalurkan sebanyak
RP.27,6 triliun, pengembangan kelembagaan yaitu meningkatkan peran lembaga
penjamin kredit yang telah ada, pembentukan UKM Center Perbankan, penguatan
kelembagaan usaha mikro, pembentukan Credit Bureau (Biro Kredit), pemberdayaan
konsultan keuangan /Pendamping Mitra Bank (KKMB), bantuan teknis tentang
pelatihan perbankan dan sektor riil, penelitian dan penyediaan informasi.
Negara
sedang berkembang (developing contry) seperti Indonesia sangat sesuai
menerapkan prinsip ekonomi kerakyatan. Prinsip ini sejalan dengan amanat para
pejuang dan pendahulu / pelopor negeri ini yang dituangkan mereka dalam UUD
1945.
Negara
Indonesia saat ini rakyatnya hampir separuh dalam kondisi miskin seperti yang
diungkapkan World Bank, yaitu jumlah rakyat miskin di Indonesia sebesar 115
juta orang pada tahun 2008 (Prabowo, 2009), jumlah ini sangat banyak dan
berpotensi memicu permasalahan kecemburuan ekonomi dan sosial. Jumlah rakyat
miskin yang banyak tersebut memerlukan peran yang lebih aktif dari pemerintah
dalam menyelamatkan mereka dari kemiskinan dan sekaligus peran dalam
mensejahterakan mereka. Apabila pemerintah menerapkan sistem ekonomi liberal
akan menyebabkan kesempatan bersaing yang seimbang makin tertutup sehingga akan
memperbesar jumlah masyarakan miskin, selain memperlebar kesenjangan ekonomi
dan sosial. Akan tetapi, apabila pemerintah memilih menerapkan ekonomi
kerakyatan, akan membuka kesempatan yang lebih banyak kepada masyarakat kecil
untuk turut berpartisipasi seluas-luasnya dalam pembangunan ekonomi tersebut,
sehingga memperbesar kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh penghasilan
yang lebih layak dan menjadi lebih sejahtera. Peran aktif pemerintah dalam
ekonomi kerakyatan akan melindungi dan memberi kesempatan yang seimbang untuk
masyarakat banyak. Hal ini mencirikan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat
kecil.
Persoalan
pokok yang dihadapi dalam perekonomian Indonesia saat ini adalah kepemilikan
aset ekonomi oleh sebagian besar rakyat yang sangat sangat kecil,
sedang sebagian kecil rakyat menguasai aset ekonomi yang sangat besar. Inilah
yang menyebabkan pasar tidak berjalan sebagaimana mestinya, yang menyebabkan
perekonomian nasional tidak efisien, yang menyebabkan trickle down effect tidak
berjalan, dan yang menyebabkan kemiskinan secara masip.
Problem
kedua adalah problem di ekonomi barang publik atau ekonomi publik yang
dijalankan pemerintah. Keputusan jenis barang publik dan jasa publik adalah
keputusan politik. Karena lemahnya sebagian besar rakyat di bidang ekonomi,
maka posisi tawar dalam kebijakan politik juga lemah (ini fakta empirik).
Akibatnya, barang publik dan jasa publik yang diproduksi pemerintah tidak
sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyat. Barang publik dan jasa publik
yang diproduksi pemerintah adalah barang publik dan jasa publik yang tidak
menguntungkan bagi sebagian besar rakyat, tetapi menguntungkan sebagian kecil
rakyat.
Problem
yang ketiga adalah problem di kebijakan publik. Seperti disebut dimuka, bahwa
pemerintah memiliki tiga kewenangan dalam perekonomian, yaitu kewenangan atau
fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Karena sebagian
besar rakyat tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dan tidak memiliki akses
dalam proses pengambilan keputusan publik, maka fungsi alokasi dan fungsi
distribusi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Bertolak
dari tiga persoalan besar tersebut, maka ruh dari ekonomi kerakyatan
adalah : bagaimana pemerintah dapat menjalankan fungsi alokasi, fungsi
distribusi, dan fungsi stabilisasi (atau bagaimana kebijakan fiskal, kebijakan
moneter, dan kebijakan di sektor riil dijalankan), sehingga distribusi aset
ekonomi kepada sebagian besar rakyat dapat terjadi tanpa mendistorsi pasar.
Sumber :
microsoft-word-ekonomi-httpekonomispiritual.files.wordpress.com201102microsoft-word-ekonomi-kerakyatan.pdfkerakyatan.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar