Senin, 08 Juli 2013

"PERKEMBANGAN EKONOMI KERAKYATAAN SAMPAI SAAT INI"


Pada era globalisasi seperti saat ini ternyata semakin tidak mudah untuk memberikan pemahaman mengenai adanya sistem ekonomi Indonesia. Masyarakat masa kini begitu lebih menikmati dan mengagumi era globalisasi ketimbang sistem ekonomi kerakyatan yang telah ada sejak lama sebelum datangnya masa globalisasi yang membawa dampak begitu besar terhadap sikap dan pola kehidupan masyarakat di Indonesia. Dengan dampak yang berkepanjangan seperti ini semakin mempengaruhi sistem perekonomian kerakyatan Indonesia serta ideologi kerakyatan yang telah menjadi dasar landasannya..
Menurut pasal 33 UUD 1945 bahwa ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang demokratis, sistem ekonomi kerakyatan termuat lengkap dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi : “Produksi dikerjakan semua untuk semua dibawah pemimpin atau anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang paling diutamakan bukanlah kemakmuran orang perseorangan. Karena itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama yang berasaskan atas keluarga. Dan bangunan perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”.
read more
Konsep ekonomi kerakyatan yang digagas Prof Mubyarto sekarang ini sudah tidak terdengar lagi. Kondisi itu diperparah dengan sistem ekonomi yang dijalankan Indonesia yang lebih mengedepankan pertumbuhan daripada pemerataan.
1.      Pengertian Ekonomi Kerakyatan
Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat.Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.

2.      Perjalanan Ekonomi Kerakyatan Dari Tahun Ke Tahun
v  Ekonomi Kerakyatan di Jaman Orde Baru dan Jaman Reformasi
Pada Jaman Orde Baru (1966-1998) telah terjadi beberapa modifikasi yang  telah diambil oleh pemerintah dalam menangani ekonomi kerakyatan. Pada Pada Pelita II (1973-1978) dan Pelita III (1979-1983) pemerintah melakukan kebijakan melalui apa yang disebut dengan sektor informal. Di Indonesia konsep kebijakan ini dikenalkan oleh akademisi Prof Hidayat dariUniversitas Padjadjaran Bandung. Batasan sektor informal tidak jauh berbeda dengan para peneliti dari mancanegara. Dikatakan sektor informal itu adalah usaha yang dilakukan dengan beberapa ciri diantaranya: usaha dengan skala kecil, tenaga kerja keluarga, tidak terdaftar, tidak perlu ijin formal seperti ijin usaha, tidak pernah membayar pajak dan tidak mempunyai akses ke lembaga keuangan sebagai pemasok modal. Kebijakan yang diambil adalah dengan memberi bantuan modal melalui sektor perbankan seperti kredit usaha kecil, kredit modal kerja permanen. Otoritas moneter, Bank Indonesia bekerja sama dengan pemerintah membuat kebijakan dengan bank umum pemerintah dan bank umum swasta sebagai bank pelaksana.
Pada Pelita VI pemerintah membuat kebijakan yang disebut dengan Program Jaring Pengaman Sosial. Dasar pemikiran ini, seperti yang dikemukakan oleh Sumodiningrat (1999), bahwa pertumbuhan (ekonomi) harus beriringan dengan pembagian hasil-hasil pembangunan secara lebih merata (redistribution with growth). Pengembangan ekonomi kerakyatan melalui pemberdayaan masyarakat yang masih tertinggal tidak cukup dengan meningkatkan produktivitas, memberikan kesempatan berusaha yang sama, memberikan bantuan modal tetapi diadakan kerjasama yang erat antara yang kuat dan yang lemah secara berkesinambungan. Pendekatan yang paling baik adalah dengan pendekatan kelompok dala bentuk usaha bersama. Dalam kelembagaan yang didasarkan pada kebersamaan, kegiatan sosial ekonomi yang dikembangkan oleh kelompok penduduk diharapkan akan mendorong kemandirian dan perkembang secara berkelanjutan Berbagai model pengembangan kelembagaan keuangan dari kelompok penduduk di masing-masing daerah ( terutama di pedesaan) seperti: Lumbung Pitih Nagari di Sumbar, Badan Kredit Kecamatan di Jateng, Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur, Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali, Badan Kredit Desa (BKD) di Jawa- Madura. Lebih lanjut menurut Sumodiningrat, upaya pengembangan ekonomi rakyat perlu diarahkan untuk mendorong perubahan struktural (structural adjustment atau structural transformation) dengan cara memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional. Perubahan struktural ini meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi moderan, dari ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi yang subsistem ke ekonomi pasar, dari ketergantungan ke kemandirian. Perubahan struktural ini mensyarakatkan langkat-langkah dasar yang meliputi pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan teknologi serta pemberdayaan sumber daya manusia.
Langkah-langkah dasar tersebut meliputi: pertama, memberi peluang atau akses yang lebih besar kepada aset produksi. Yang paling mendasar adalah akses pada dana; kedua, memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat; ketiga, meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia; keempat, kebijaksanaan pengembangan industri harus mengarah pada penguatan industri rakyat yang terkait dengan industri besar; kelima, kebijaksanaan ketenagakerjaan yang mendorong tumbuhnya tenaga kerja mandiri sebagai cikal bakal wirausaha baru, yang nantinya akan berkembang menjadi wirausaha kecil dan saling menunjang; keenam, pemerataan pembangunan antar daerah. Pada akhir Pelita VI, menjelang lengsernya Presiden Suharto, atau menjelang krisis 1997 dan 1998 diadakan program Jaring Pengaman Sosial yaitu:
a. peningkatan ketahanan pangan (food security),
b.penciptaan lapangan kerja produktif (employment creation),
c. pengembangan usaha kecil dan menengah (small and medium enterprises),
d, perlindungan sosial dalam pelayanan dasar khususnya kesehatan dan pendidikan (social protection).
Kebijaksanaan ini hampir menelan dana Rp.18 triliun yang dibagi menjadi 17 sektor pembangunan . Program-program tersebut diantaranya adalah program padat karya, yang terdiri dari: padat karya khusus, padat karya produktif sektoral, padat karya inpres. Program Pemberdayaan Masyarakat terdiri dari program pengembangan kecamatan (PPK), bantuan program pemberdayaan daerah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi (PDMDKE), program unit daerah kerja pembangunan (UDKP), program IDT (inpres daerah tertinggal) yang mempunyai pengertian sebagai pemicu penanggulangan kemiskinan, sebagai strategi pemerataan dan panajaman program pembangunan, dan sebagai pengembang ekonomi rakyat dengan bantuan dana bergulir.
Program IDT terdiri dari bantuan dana bergulir, bantuan prembangunan prasarana pendukung desa tertinggal, dan bantuan pendampingan. Terakhir program kredit mikro yang terdiri dari program Takesra (tabungan kesejahteraan keluarga), Kukesra (kredit usaha keluarga sejahtera), program kredit candak kulak dan program tempat pelayanan simpan pinjam KUD (KCK/TPSP). Pada jaman Reformasi program yang ditempuh pemerintah adalah dengan peningkatan dan pengembangan kinerja dan daya saing sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Hasinya menurut catatan BPS, sektor UMKM memberi kontribusi 2 – 4 % terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan pembentukan total PDB sebanyak 55,3 %. Pangsa ekspor UMKM terhadap total ekspor Indonesia mencapai 19 %. Sektor ini mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 76,55 juta atau 99,5 % dari total angkatan kerja yang bekerja (Ganesia, 2006, hal.2). Hasil ini dilakukan dengan berbagai kebijakan yaitu: kebijakan kredit perbankan dengan beberapa program tentang: pengaturan kredit usaha kecil, penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan dan pengembangan UKM yang dilakukan oleh 14 bank sistematically important bank dengan jumlah kredit yang disalurkan sebanyak RP.27,6 triliun, pengembangan kelembagaan yaitu meningkatkan peran lembaga penjamin kredit yang telah ada, pembentukan UKM Center Perbankan, penguatan kelembagaan usaha mikro, pembentukan Credit Bureau (Biro Kredit), pemberdayaan konsultan keuangan /Pendamping Mitra Bank (KKMB), bantuan teknis tentang pelatihan perbankan dan sektor riil, penelitian dan penyediaan informasi.
Negara sedang berkembang (developing contry) seperti Indonesia sangat sesuai menerapkan prinsip ekonomi kerakyatan. Prinsip ini sejalan dengan amanat para pejuang dan pendahulu / pelopor negeri ini yang dituangkan mereka dalam UUD 1945.
Negara Indonesia saat ini rakyatnya hampir separuh dalam kondisi miskin seperti yang diungkapkan World Bank, yaitu jumlah rakyat miskin di Indonesia sebesar 115 juta orang pada tahun 2008 (Prabowo, 2009), jumlah ini sangat banyak dan berpotensi memicu permasalahan kecemburuan ekonomi dan sosial. Jumlah rakyat miskin yang banyak tersebut memerlukan peran yang lebih aktif dari pemerintah dalam menyelamatkan mereka dari kemiskinan dan sekaligus peran dalam mensejahterakan mereka. Apabila pemerintah menerapkan sistem ekonomi liberal akan menyebabkan kesempatan bersaing yang seimbang makin tertutup sehingga akan memperbesar jumlah masyarakan miskin, selain memperlebar kesenjangan ekonomi dan sosial. Akan tetapi, apabila pemerintah memilih menerapkan ekonomi kerakyatan, akan membuka kesempatan yang lebih banyak kepada masyarakat kecil untuk turut berpartisipasi seluas-luasnya dalam pembangunan ekonomi tersebut, sehingga memperbesar kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh penghasilan yang lebih layak dan menjadi lebih sejahtera. Peran aktif pemerintah dalam ekonomi kerakyatan akan melindungi dan memberi kesempatan yang seimbang untuk masyarakat banyak. Hal ini mencirikan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat kecil.

Persoalan pokok yang dihadapi dalam perekonomian Indonesia saat ini adalah kepemilikan aset ekonomi oleh sebagian besar rakyat yang sangat  sangat kecil, sedang sebagian kecil rakyat menguasai aset ekonomi yang sangat besar. Inilah yang menyebabkan pasar tidak berjalan sebagaimana mestinya, yang menyebabkan perekonomian nasional tidak efisien, yang menyebabkan trickle down effect tidak berjalan, dan yang menyebabkan kemiskinan secara masip.
Problem kedua adalah problem di ekonomi barang publik atau ekonomi publik yang dijalankan pemerintah. Keputusan jenis barang publik dan jasa publik adalah keputusan politik. Karena lemahnya sebagian besar rakyat di bidang ekonomi, maka posisi tawar dalam kebijakan politik juga lemah (ini fakta empirik). Akibatnya, barang publik dan jasa publik yang diproduksi pemerintah tidak sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyat. Barang publik dan jasa publik yang diproduksi pemerintah adalah barang publik dan jasa publik yang tidak menguntungkan bagi sebagian besar rakyat, tetapi menguntungkan sebagian kecil rakyat.
Problem yang ketiga adalah problem di kebijakan publik. Seperti disebut dimuka, bahwa pemerintah memiliki tiga kewenangan dalam perekonomian, yaitu kewenangan atau fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Karena sebagian besar rakyat tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dan tidak memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan publik, maka fungsi alokasi dan fungsi distribusi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Bertolak dari tiga persoalan besar tersebut, maka ruh dari ekonomi kerakyatan adalah : bagaimana pemerintah dapat menjalankan fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi (atau bagaimana kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan kebijakan di sektor riil dijalankan), sehingga distribusi aset ekonomi kepada sebagian besar rakyat dapat terjadi tanpa mendistorsi pasar.
  

Sumber :
microsoft-word-ekonomi-httpekonomispiritual.files.wordpress.com201102microsoft-word-ekonomi-kerakyatan.pdfkerakyatan.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar