Saat
ini sangat marak terdengar isu-isu negative yang melanda perekonomian Indonesia
khususnya dalam dunia pasar dan lembaga keuangan. Tentunya isu-isu ini
berdampak pada kondisi pasar keuangan dalam negeri, terutama dalam hal
investasi. Banyak isu-isu yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam melakukan
transaksi finansial. Selain isu positif seperti pertumbuhan GDP yang kian meningkat,
isu negatif juga sangat di butuhkan oleh pelaku pasar saat pasar sedang sangat
kuatnya untuk merealisasikan keuntungan sekaligus memantau kembali untuk
membeli pada saat harga sedang memasuki level beli yang lebih murah. Namun juga
dibalik itu, ada pihak yang bertindak sebagai the winner dan pada pihak lain
ada yang terjebak sebagai the looser.
Isu-isu
negative ini datang dari negeri Paman Sam yaitu Amerika. Baru-baru ini muncul
dua kebijakan pemerintah Amerika karena faktor keuangan yang mengalami kendala,
diantaranya adalah;
1. Tapering
Merupakan
kebijakan yang dilakukan oleh The Federal Reserve dengan melakukan pengurangan
stimulus moneter bagi perekonomian Amerika dikarenakan faktor finansial yang
semakin buruk.
2. Shutdown
Peristiwa ini
bukan yang pertama kalinya terjadi, shutdown kembali mencuat di masa Presiden
Obama untuk melakukan penutupan sejumlah kantor pemerintah karena ketiadaan
dana. Shutdown terakhir terjadi di bawah pemerintahan Presiden Bill
Clinton pada 1995 dan merugikan perekonomian AS lebih dari US$1 miliar. Paman
Sam sudah melakukan penutupan kantor pemerintah 18 kali dalam 30 tahun
terakhir. Kini, shutdown dilakukan pada 1 Oktober 2013 yang merupakan
akhir dari tahun fiskal AS. Peristiwa ini merupakan yang pertama sejak 1996.
Kebijakan
pemerintah Amerika sangat memberikan dampak yang sangat besar bagi perekonomian
seluruh Negara berkembang termasuk Indonesia. Dampak-dampak negative yang akan
timbul adalah sebagai berikut;
1. Dampak Tapering
Rencana kebijakan tapering off QE pada awalnya direspon kaget oleh pasar indonesia, sehingga menyebabkan gejolak nilai tukar rupiah dan harga saham.
Rentannya kurs rupiah dan nilai impor (migas) yang semakin tinggi.
Nilai tukar rupiah antarbank bergerak melemah menjadi Rp11.440 dibanding sebelumnya di posisi Rp11.405 per dolar AS.
Dollar index menguat 0.22% dari 80.37 naik ke 80.58
Emas sebagai simbol investasi komoditi juga terkena hantaman turun , turun dari level 1312 ke level 1294.48.
Indonesia mengalami capital inflow besar-besaran.
Rusaknya iklim investasi, banyak investor yang akhirnya akan keluar dari Indonesia karena takut akan kerugian yang besar.
2. Dampak Shutdown
Dampaknya pada likuiditas dolar, tidak hanya di AS tetapi juga di dunia langsung terasa guncang.
Dapat menekan capital outflow atau pindahnya modal dari Indonesia ke luar negeri karena semata- mata pertimbangan ekonomi atau bisnis.
Kinerja ekspor yang semakin melemah, karena pangsa pasar Amerika dalam kegiatan ekspor cukup signifikan yaitu mencapai 10%.
Dampak pada jalur keuangan seperti harga saham global maupun suku bunga surat utang AS.
Meskipun tak akan terjadi dalam jangka pendek, dampak yang bisa dirasakan Indonesia adalah terkait alur perdagangan dan investasi antara kedua negara. Hal ini jika kebijakan itu berlarut-larut terjadi.
Cara mencegah
tapering dan shutdown :
Sebagai Negara
berkembang yang tentunya akan terkena dampak kebijakan Amerika, Indonesia perlu
mempersiapkan diri selama dua tahun ke depan. Dengan demikian, maka pengaruh
kebijakan The Fed tersebut dapat dihilangkan ataupun diminimalisir. Tentunya
menurunkan kualitas Bank dari segi asset perputaran transaksi keuangan yang
melemah.
Hal-hal yang
perlu dilakukan Indonesia terkaitan masalah tersebut adalah sebagai berikut;
- Bank Indonesia (BI) harus menaikkan tingkat suku bunga (BI Rate) agar defisit neraca transaksi berjalan t tahun ini bisa berkurang.
- Harus menjaga iklim investasi secara intens, agar tetap menarik investor asing untuk tetap menaruh dananya di Indonesia.
- Pemerintah harus mengelola subsidi bahan bakar minyak (BBM), terdapat dua cara yaitu mengalihkan subsidi ke orang atau membeli kilang di luar negeri agar bisa produksi sendiri
- Harus ada atau mencari substitusi dari bahan baku impor, maka akan mengurangi impor yang terlalu tinggi.
- Dari sisi neraca jasa, BUMN harus mengurus asuransi secara independen, sehingga asuransi tidak perlu diurus oleh luar negeri.
- Perlunya membuat insentif untuk brand-brand dalam negeri, maka dapat menambah konsumsi dalam negeri sendiri.
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar